Selasa, 23 Oktober 2012

Telaga Sarangan, Sebuah Lukisan Tuhan


Senja selalu saja indah, tak peduli dimanapun kita berada, semburat jingga mewarnai langit, pelan mentari berganti pekat, dan disini kabut turun perlahan-lahan, menghembuskan aroma dingin. Kabut menyusup pepohonan, bangunan-bangunan, gerobak-gerobak pedagang lalu dingin menyergap kulit. Saya merapatkan baju hangat. 

Sekejap saja, tapi keindahan lain seolah berganti posisi. Ketika gelap mulai merajai langit, pendar lampu-lampu menciptakan ribuan kerlip, air telaga memantulkan warna serupa cahaya aslinya. Dan di bawah sana lampu-lampu dari rumah penduduk terhampar seperti ribuan kunang-kunang. Berebut ingin berbagi kehangatan. 


 


Telaga Sarangan 

Telaga Sarangan berada dikaki Gunung Lawu, sebuah gunung api aktif yang terdapat di desa Sarangan, Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Daerah ini merupakan perbatasan antara Propinsi Jawa Timur Dan Jawa Tengah. Udara disini sangat dingin, sekitar 16 -17° C. Kabut sering turun pada pagi dan sore hari. Kadang berhembus tipis dibawa angin, tak jarang bergulung-gulung dan pekat. Udara dingin inilah yang membuat penduduk sekitar telaga Sarangan sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani sayur mayur, bunga dan palawija. Persediaan air yang melimpah dengan kondisi iklim yang dingin membuat sayur mayur tumbuh subur. Sawah-sawah di sekitar telaga seperti permadani hijau, berhias terasering berkelok-kelok. Ada selada, bawang merah, kol, wortel, kentang, kacang, cabe, dan masih banyak sayur mayur yang lain. Sedangkan petani bunga memilih melati, mawar, anyelir dan suplir-suplir yang cantik. 

Telaga Sarangan sangat jernih, air telaga berwarna kehijau-hijaukan, karena telaga ini berlatar belakang hutan Gunung Lawu yang lebat. Telaga ini sanggup memenuhi kebutuhan air satu wilayah kabupaten. Jika musim penghujan maka air akan penuh sampai pengunjung dapat bermain air dari tepian telaga, tapi jika musim kemarau air telaga akan sedikit surut. Meskipun begitu bisa dipastikan warga masyarakat tidak akan kekurangan air untuk kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan irigasi. Air telaga dialirkan melalui pos-pos air bersih yang dikelola oleh Perusahaan Daerah Air Minum ( PDAM ), untuk kemudian dialirkan ke masyarakat. Tetapi hingga saat ini telaga ini belum diketahui pasti berapa kedalamannya. Beberapa kali penyelam melakukan pengukuran tidak menemukan dasar telaga, menurut keterangan warga setempat, dasar telaga ini berupa kerucut, sehingga susah untuk dilakukan pengukuran. 


Pulau tak berpenghuni 

Di telaga ini kita juga menemukan sebuah pulau. Seperti pulau Samosir di tengah danau toba. Pulau ini tidak berpenghuni. Dari tepian telaga terlihat seperti hutan kecil yang rimbun karena pepohonan. Dulu pengunjung bisa menyeberang ke pulau ini melalui sebuah jembatan. Tetapi lama kelamaan pulau ini dijadikan sebagai tempat pemujaan syetan untuk mencari kekayaan, maka untuk menghindari kegiatan musyrik tersebut jembatan ini kemudian diputus oleh warga sekitar. 

Sebenarnya tanpa akses jembatanpun, pengunjung yang ingin menikmati keindahan pulau tersebut dari dekat masih bisa dilakukan. Dengan menyewa speedboat dengan tarif Rp. 40.000,- satu kali mengelilingi telaga, pengunjung bisa meminta kepada tukang perahu/speedboat untuk singgah ke pulau tersebut, tapi hal ini tidak disarankan untuk anak kecil, karena akan mengalami kesulitan untuk naik ke pulau tersebut dari perahu. 





Menikmati Telaga Sarangan dari ketinggian 

Sensasi yang luar biasa saya rasakan ketika menikmati keindahan telaga ini dari ketinggian, hanya dengan berjalan kaki sekitar 200-300 meter, di pinggir jalan raya yang merupakan akses tembus ke Solo, banyak warung-warung berjajar di pinggir jalan. Warung-warung ini ada yang menjual indomie, jagung bakar, bakso, maupun sate kelinci yang merupakan makanan khas. Kita bisa bersantai sambil menikmati pemandangan telaga dari atas. Sungguh luar biasa cantik! Seperti lukisan-lukisan yang biasa kita temukan galery-galery. Hanya saja pelukisnya yang berbeda. 

Saat itu pagi menjelang siang, langit begitu biru, awan-awan meramaikan langit, air telaga begitu tenang, bening dan kehijauan. Sesekali perahu-perahu melintas, menimbulkan riak-riak berbuih di belakangnya. Gunung-gunung dan bukit-bukit seolah memagari telaga. Dimana-mana terlihat begitu hijau, hanya atap rumah-rumah penduduk yang terlihat seperti kotak-kotak berwarna bata. Angin semilir, kehangatan mentari tak bisa mengusir dingin. Dan waktu seolah melambat, ketika saya membiarkan diri menyerap semua keindahan. Sungguh ingin sekali rasanya bisa tinggal di tempat seperti seindah ini. 



Sate Kelinci 

Hari beranjak siang ketika saya mulai merasakan lapar. Saya memang sudah penasaran dengan sate kelinci yang merupakan makanan khas disini. Sebenarnya membayangkan binatang yang lucu yang memiliki hidung pink ini saya tidak tega. Tapi rasa penasaran membuat saya memberanikan diri, daripada sudah datang jauh-jauh dan menyesal nanti. 

Sate ini disajikan dengan lontong. Berbumbu kacang dengan rasa pedas dan manis, khas rasa masakan Jawa Tengah, meskipun masih merupakan wilayah Jawa Timur tapi masakan dan logat bahasa warga masyarakat sini lebih cenderung ke Jawa Tengah. Bukan itu saja adat-istiadat seperti pesta perkawinan juga memakai adat Keraton Jogjakarta atau Keraton Solo. Kembali ke sate kelinci, rasanya hampir seperti sate ayam, tapi tekstur dagingnya lebih halus dan hampir tanpa serat. Aromanya juga lebih wangi. 

Untuk minum, saya memesan wedang ronde, kalau yang ini sama seperti wedang ronde yang biasa kita temui. Hanya perbedaannya wangi dan rasa jahenya lebih kuat. Mungkin karena udara yang dingin, jadi jahe diharapkkan bisa menghangatkan badan. 



Upacara Larung Tumpeng dan Bersih Desa 

Upacara Larung Tumpeng ini juga merupakan penarik wisatwan paling tinggi, bahkan pada saat digelar upacara ini banyak wisatawan asing yang datang berkunjung. Upacara Larung Tumpeng dilakukan setiap satu tahun sekali biasanya pada bulan Syuro ( Muharram) , bersamaan dengan upacara bersih desa. Dalam upacara ini semua warga desa terlibat, ibu-ibu sibuk menyiapkan masakan, bapak-bapak sibuk menghias tumpeng raksasa yang akan di larung ke dalam telaga. 

Tumpeng raksasa ini biasanya dibuat dari anyaman atau kardus sebagai bentuk dari kerucutnya, baru kemudian dilapisi dengan nasi, sedangkan hasil bumi warga sekitar selama satu tahun menjadi hiasan di dasar tumpeng, sayur-mayur, palawija dan hewan ternak. Tumpeng ini lumayan berat, biasanya membutuhkan 4-6 laku-laki dewasa untuk mengangkatnya. 

Setelah semua perlengkapan siap, maka tumpeng akan dilarung (ditenggelamkan) ke Telaga Sarangan. Berbagai hiburan masyarakat setempat meramaikan acara ini, seperti Reog Ponorogo dan tarian-tarian tradisional lain. Biasanya pada malam harinya, acara akan dilanjutkan dengan syukuran semua warga, memanjatkan syukur kepada Tuhan atas anugrah rejeki dan kemakmuran yang diberikan. 


Petani Sayur 

Biasanya kita menemukan sayur-sayuran segar di supermarket atau di pasar. Kita tidak pernah tahu gimana cara menanam, merawat dan memanennya. Jika kebetulan berlibur seharian disini, sore hari kita bisa menyempatkan diri melihat ke sawah-sawah penduduk sekitar telaga. 

Sore ini saya melihat dari dekat petani yang memanen kol (kubis). Kol-kol berjajar rapi dan lucu, daunnya merekah dengan bulatan-bulatan besar di tengahnya. Cara memetiknya menggunakan pisau, dengan membersihkan beberapa lembar daun luarnya. Saya juga menemukan kol yang terserang hama ulat, daun-daunya rusak dan tidak dapat membulat. 

Ada juga petani melon, tanah-tanah yang berbentuk galengan diselimuti dengan plastik-plastik transparan, tujuannya mencegah melon busuk. Saya juga menemukan petani yang sedang memanen tomat, buahnya bergerombol, dan mulai memerah. Saya tak bisa menahan diri untuk tidak mencicipi satu. 

Penduduk disini ramah-ramah dan senang sekali berbagi cerita. Bahasa mereka juga santun, dan sangat minim prasangka pada pengunjung seperti saya. Meskipun kulit terbakar matahari tapi rona ketulusan terpancar jelas dari mata mereka. Senang sekali menemukan oase-oase segar seperti ini. 

Akhirnya saya pulang ke penginapan dengan sekeranjang sayur-sayur segar, pikiran yang segar dan udara segar yang mengisi paru-paru saya. 




Hotel dan Penginapan 

Sangat mudah menemukan penginapan di sini, sejak di kecamatan Plaosan kita sudah bisa menemukan hotel mulai dari hotel melati sampai hotel berbintang tiga. Untuk hotel melati kita dapat menyewa dengan harga antara Rp. 75.000,00 – Rp. 250.000,00 tergantung tempat, dan fasilitasnya. Sedangkan hotel berbintang tiga kita dapat menyewa sekitar Rp. 300.000 – Rp. 400.000,00. 


Oleh-oleh khas 

Selain sayur-sayur segar, banyak oleh-oleh dan makanan khas yang dapat kita jadikan sebagai buah tangan. Untuk makanan, kita dapat menemukan madumongso, krupuk puli, bumbu kacang dan brem. Sedangkan kerajinan, di Magetan ada kerajinan kulit yang memproduksi tas, sepatu, dompet, sandal, dll dengan harga dan kwalitas yang menarik. Produksi dari home industri di Magetan dijual oleh pedagang-pedagang di tepi-tepi telaga. Meskipun home industri, kwalitasnya tidak mengecewakan, bahkan untuk jaket dan tas sudah mulai merambah pasar ekspor.






Naik Apa Habis Berapa? 

Telaga Sarangan dapat kita akses dari Solo, dari terminal Solo kita bisa baik bus kecil jurusan terminal Tawangmangu dengan biaya sebesar Rp. 15.000,00. Dari terminal Tawangmangu disambung dengan angkutan berupa mobil kecil dengan biaya sekitar Rp.10.000,00. Akses jalan sudah sangat mudah, apalagi ada jalan tembus yang baru saja dibangun. Selain itu sepanjang perjalanan kita juga bisa menikmati pemandangan yang indah, jalan berkelok-kelok naik turun, pinus-pinus berjajar di hutan kiri dan kanan. Sesekali kita juga bisa menemukan bunga matahari hutan yang cantik disela-sela rumpun perdu. Mobil ini langsung mengantarkan ke telaga Sarangan. 

Sedangkan dari arah Surabaya, kita bisa naik bus jurusan Jogjakarta/Solo, atau langsung bus jurusan Magetan dengan biaya Rp. 19.000,00. Lalu turun terminal Magetan, dari terminal Magetan naik angkutan langsung ke Telaga Sarangan, dengan biaya sekitar Rp. 7.000,00. 

Meskipun letaknya di kaki gunung, tapi akses jalan sudah sangat mudah. Apalagi banyak pendaki-pendaki dari luar daerah yang sering kesini, untuk menaklukan puncak Lawu. 









2 komentar:

You might also like: